Berpisah untuk Bersatu
Sebuah artikel yang menurut saya keren baru saja saya baca pagi ini. Seperti hari-hari biasanya, saya seringkali membuka platform white board journal karena memang saya haus akan bacaan yang bisa melatih otak saya agar tidak tumpul-tumpul amat, diluar dari itu memang tidak bisa dipungkiri jurnal ini seringkali menarik perhatian dengan headline-headline-nya yang mampu menyentak rasa ingin tahu saya.
Seperti headline kali ini yang berhasil membuat jari saya otomatis clickbait, “Jangan-Jangan, Kita Justru Memerlukan Perpecahan?”. Artikel ini diadaptasi oleh tulisan spesies terakhir seniman kontemporer bernama Irwan Ahmett yang baru saya kenal beberapa menit setelah membaca tuntas artikel ini. Kagum akan tulisannya, saya langsung menelusuri sosoknya.
Lanjut kepada isi artikelnya, saya sudah menduga bahwa artikel ini akan berisi banyak sindirian-sindiran akan propaganda persatuan yang banyak orang-orang gaungkan.
Dibagian pembukaan artikel ini, dijelaskan bahwa persatuan sebenarnya bersanding dengan perpecahan, segala hal yang berbau toleransi sebenarnya juga berdampingan dengan intoleransi layaknya siang dan malam, suka dan duka.
Katanya, kita begitu munafik jika selalu mengagung-agungkan persatuan, berteriak perdamaian, bersikap ramah tamah dan sopan santun serta murah senyum, karena mentalitas yang kita punya sebenarnya tidak semurni itu. Ada sisi lain yang tidak pernah kita tampakkan di muka umum, namun nyatanya bersemayam dalam diri kita. Suatu sikap memberontak dan ingin bebas.
Lalu dipaparkan pula bahwa banyaknya kasus intoleransi yang dibahas oleh media seakan menggambarkan bahwa kita semua sebenarnya menikmati ke-chaos-an ini. “kita sama-sama bangsat. Jauh di lubuk hati tergelap, sebenarnya kita semua memiliki titik kekejian yang sama.”
Hal ini sebenarnya berakar dari kesenjangan sosial yang terus menerus terjadi. Digambarkan dengan bagaimana masyarakat mengkotak-kotakkan tempat tinggal mereka, sekolah-sekolah borjuis yang mencetak anak-anak arogan dan ingin berteman dengan segolongannya saja, yang membuat semua kata-kata persatuan terkesan jadi omong kosong saja.
Bahkan diakhir tulisan ini, Irwan Ahmett menyatakan opininya yang cukup mengagetkan, ia justru merasa tidak keberatan jika Indonesia tak lagi bersatu. Justru mungkin jangan-jangan Indonesia akan menjadi negara yang lebih baik, jika bercerai terlebih dahulu. Apakah kita harus mengalami kegagalan terlebih dahulu? Agar suatu hari dapat lahir kembali dengan sikap dewasa yang membangun bangsa lebih baik lagi. Agar tidak jadi tidak mudah tersinggung dengan berbedaan pendapat yang muncul. Agar kita dapat lebih menerima ketika disanggah berkali-kali dan bisa lebih memaknai bahwa itu merupakan bentuk kasih sayang sesama Indonesia. Karna balik lagi, Bhineka Tunggal Ika.
Seperti kebanyakan kata orang bahwa setelah berpisah maka rasa kasih sayang akan lebih terasa. Mungkin itu yang akan muncul jika Indonesia bercerai terlebih dahulu.
Rindu itu baik untuk kita, begitu penggalan lirik Ruang Sendiri Tulus yang mungkin bisa mewakili gagasan ini.
Comments
Post a Comment