Redup itu Begitu Membelenggu
Hari demi hari tidak terasa terus bergulir tanpa henti.
Tidak peduli kamu bosan, tidak peduli kamu sakit kepala, tidak peduli kamu sedang tidak peduli. Hidup berputar tanpa mau tahu kamu sedang ikut berputar atau malah sedang diam di tempat memutar pikiran.
Kamu merasa semesta terlalu memaksamu untuk ikut berputar kan? Padahal jelas-jelas jiwa ragamu membeku di tempat. Aku tahu kamu sedang memangku beban yang berat. Aku paham kamu lelah. Aku bisa merasakan kamu sedang gundah. Aku melihat kamu berusaha keluar dari putaran roda yang memaksamu ikut berputar.
Jakarta kemarin mendadak redup. Aku tau kamu sebenarnya senang, senang karena kamu tidak perlu merasa redup sendirian. Kamu sedikit lega. Akhirnya.. semua orang merasakan keredupan yang selama ini kamu rasakan. Begitu kata hati kecilmu. Redup itu begitu membelenggu. Memaksamu menikmati keadaan yang harusnya lebih indah jika terang. Jujur saya, kamu tidak merasakan keberatan akan hitam yang tiba-tiba mengguyur jakarta di siang bolong itu kan? Kamu malah berteriak dengan bahagia, merasa senang, hidupmu bahkan seakan-akan lebih tenang.
Aku paham kamu memang begitu, selalu nyaman dengan redupmu, sungguh penerimaan takdir hidup yang sangat kaku. Kamu selalu begitu, berusaha senyum namun kenyataannya sendu. Kamu tahu kamu bisa bangun. Kamu tahu kamu bisa lebih hidup dari sekadar berjalan di atas redup. Namun lagi-lagi kamu terjebak dalam angan semu yang membuatmu terlalu fanatik dengan keredupanmu. Periksa hatimu. Tidakkah kamu mendengar deruan yang terus berusaha berlari di tengah keredupan? Mungkin ini waktunya untuk kamu mengganti redupmu pelan-pelan. Saatnya menjemput cahayamu perlahan.
Comments
Post a Comment