Mengurai Benang Runyam
Mari kita coba menulis lagi.
--
Ini tentang sebuah penerimaan yang katanya berat untuk dilewatkan. Mari kita urai dengan tulisan, siapa tau bisa mewakilkan.
--
Katanya, dengan menulis kita bisa mengabadikan. Lalu apa yang hendak ku lakukan sekarang? Mengabadikan kepedihan? Mengabadikan suatu rasa sakit yang tidak mudah untuk dilupakan? Atau mengabadikan sebuah potret perjuangan meraih keikhlasan?
Ada panas yang sedari tadi berusaha menyeruak dari pelupuk mataku. Ada batu hitam di hati yang tidak henti-hentinya meraungkan begitu banyak keraguan, ketidakpercayaan, dendam, rasa benci, dan makian atas segala yang terjadi. Ingin sekali marah pada keadaan, melempar ribuan tanya pada Tuhan apa maksud atas segala keruntuhan yang bertubi-tubi terjadi. Mengapa seberat ini? Apa benar Tuhan terlalu yakin aku bisa melewati, meski dengan langkah yang terseok-seok dan jutaan kali ingin berhenti meski belum sampai di garis finish? Aku tidak mengerti.
Aku memang selalu begini, selalu mudah untuk menyerah dan pasrah, terlalu takut untuk berjuang, terlalu takut untuk meneruskan perjalanan, takut menerima segala penolakan, padahal berkali-kali Tuhan mengingatkan bahwa aku bisa melewati ini meski dengan langkah yang pelan. Akunya saja yang terlalu mudah mengalah pada keadaan. Iya aku, semua salahku. Salah sifatku yang selalu memanjakan pikiran-pikiran halu ku. Merasa kalah dengan halusinasi akan kekacauan yang jelas-jelas berhulu hanya pada pikiranku saja.
Aku ini bisa apa? Kecamuk pikiranku terus menghadang. Saling bertabrakan. Aku ini bisa apa? Sekali lagi terdengar. Terus terdengar tanpa henti. “Hanya bisa meratapi.” Jawab kecamuk lainnya. Tidak sadar mataku yang terpejam ini baru saja kehilangan satu temannya. Satu tetes air mata yang dahulu selalu ia pertahankan, yang tak pernah coba ia lepaskan, agar tak ada satupun pasang mata lain yang tahu bahwa binar kesedihan ini sudah siap memuntahkan segala isinya.
Terkatup bibirku beberapa saat. Mencoba menenangkan segala kecamuk yang berdentum-dentum keras dikepala. Mengapa kita seringkali terjebak oleh pikiran-pikiran kacau kita sendiri? Mengapa aku terus saja menimbun benang-benang prasangka di kepala? Mengapa aku tidak pernah berhenti mendesak gulungan ingatan untuk segera keluar mengurai kenangan? Tanyaku pura-pura tidak mengerti
Tanpa ku sadari, aku terus bicara tanpa suara. Sesekali membiarkan angin membasuh tubuhku yang hampir kaku. Perlahan melebur bersama detik demi detik yang ku resapi. Air mata nyeri ini begitu khidmat, mengguratkan ribuan kesedihan yang selama ini berusaha ku timbun dalam lubang ingatan.
Tiba-tiba saja selarik cahaya jingga terjatuh di selasar jiwa, menyaksikan rongga-rongga duka yang kian menganga, menyapaku dengan tatapan nanar seperti tak tahan ingin memberi pertolongan, “kamu hanya butuh ikhlas.” Bisiknya sambil berlalu pergi, meninggalkanku yang sedang menyulam sepi.
Jika masih kuat, nanti ku sambung lagi.
Comments
Post a Comment