Bersawala dalam Senja

Saat senja menggantungkan keindahannya dihamparan cakrawala, kita terduduk dalam dua bangku, dipisahkan oleh sebuah meja namun tetap disatukan oleh rasa cinta. Kita saling berhadapan, memandang sesekali, namun tetap terjaga dalam diam yang tidak begitu menjemukan. 

Senja kala itu kita sepakat hendak bersawala panjang tentang mimpi-mimpi yang hendak kita raih bersama. Setelah puluhan malam ku lewati dengan rasa rindu yang tak pernah berhenti, akhirnya saat-saat yang kunanti datang juga. Aku yang terpisahkan ratusan kilometer denganmu, berakhir dengan jarak hanya sejengkal membuat hatiku terpingkal girang.

“Bagaimana 2 bulan tanpa kehadiranku?”
Kamu membuka sawala panjang kita dengan kalimat yang barang tentu akan ku jawab dengan kalimat yang sama setiap saat.

“Lelah.” Kataku singkat, mencoba untuk merangkum jutaan rinduku padamu dalam 1 kata. 
“Lelah menahan rindu.” Sambungku, karna dirasa 1 kata tidak cukup mampu mewakilkan. 

Matamu menyipit, bertanda senyum simpul sedang kau sunggingkan. Diikuti sebuah kalimat, yang aku tahu aku tidak suka jika mendengar itu keluar dari mulutmu.
“Baru 2 bulan, bagaimana jika nanti kita berpisah dalam hitungan tahun karena pekerjaan yang mengharuskanku jauh darimu?”
“Ah itu lagi…” bisik hatiku

Kita memang sudah akrab dengan kata jarak. Atau mungkin lebih tepatnya mengakrabkan diri. Karena bagaimana mungkin aku bisa berdamai dengan rindu, jika tidak terlebih dulu mengenal dekat sang jarak. 

“Itu bisa kita pikirkan nanti.” Jawabku sekenanya. 
“Segala sesuatu yang mungkin terjadi nanti ada baiknya untuk kamu pikirkan saat ini.” Jawabmu dengan mata terbuka lebar, pertanda kamu sedang mencoba serius. 

Memang bukan kamu jika tidak menjelma sebagai pemikir ulung nomor satu seantero bumi, kamu yang penuh dengan banyak rencana, penuh dengan prediksi akan mungkinnya suatu hal terjadi diluar kehendakmu, dan penuh dengan pikiran-pikiran akan masa depan.  

Aku tetap tidak menjawab, atau mungkin memang tidak perlu. Kau tersenyum, seraya membuka bungkus kertas roti bulat kesukaanmu, lalu perlahan memasukkannya ke rongga mulutmu tanpa melepaskan pandanganmu padaku. 

Masih dengan tatapan yang sama, tatapan yang mengisyaratkan kebencianmu akan sikapku yang seringkali bergantung dengan persepsi “Lihat saja nanti.” Lalu perlahan kau angkat gelas berisi soda favoritku dengan tangan maskulinmu itu, meneguknya dengan khidmat, lalu setelahnya kau tersenyum, sambil sedikit tertawa, 

“Bagaimana? Masih mau bicara lihat nanti? Segala hal harus kau susun rapi, 5 tahun, 10 tahun, kamu harus tahu kamu akan melakukan apa dan menjadi seperti apa, termasuk tentang kita.”

Aku masih sibuk mencerna kata-katamu. Entah karena kata-katamu yang begitu menghipnotis atau memang pesonamu yang tak pernah menipis barang sedetik. Jika ku ciptakan sebuah puisi yang gambarkan rasa kagumku saat itu, mungkin seperti ini bunyinya:

Pernah ku mencintai seseorang, 
kemilau tampannya membuat tak kuasa ku menahan pandangan
Binar matanya 
membuat ku tak kuasa menahan lamunan akan masa depan.

Atau mungkin seperti ini bunyinya:
Berbeda dengan Pak Sapardi yang katanya ingin mencintaimu dengan sederhana,
aku justru ingin mengatakan bahwa aku ingin mencintaimu dengan sangat sempurna,
sesempurna cara si kumbang yang mengambil nektar dari cantiknya wajah mawar.

Ah begitu banyak bait cinta yang bisa ku ciptakan untukmu. 
Lalu aku pun kembali tersadarkan akan pertanyaanmu yang belum sempat ku jawab, teralihkan dengan gumaman dalam pikiran.

“Aku terlalu enggan untuk membicarakan jarak yang nantinya akan memisahkan kita, lagi. Aku sampai tidak ingat berapa banyak usaha yang ku kerahkan hanya untuk sekadar menikmati rindu.”

Kau diam sejenak, memandangku dalam, tersenyum kecil, lalu menarik pelan jemariku kedalam jemarimu. Kita hanyut dalam rasa haru yang sulit untuk diuraikan. Kita sama-sama tahu, bahwa jarak ini tidak mudah untuk dilalui pun berdua. Kita sama-sama tahu bahwa rasa getir rindu tidak serta merta hilang dengan sebuah tenggukan segelas kopi pahit yang selalu kau seruput di ujung senja itu. Kita pun sepakat bahwa melawan rasa rindu adalah cara paling mematikan yang pernah ada. 

Tidak lagi terdengar jawabanmu setelah itu
Aku pun tidak menunggu
Biarkan kita tenggelam dalam rasa haru
Merapalkan doa dalam terungku sendu 
Ditemani sarayu biru, kita lirih berkata pada Sang Pemilik Rindu,
“Semoga selamanya kita mampu untuk terus berada di frekuensi yang sama.”


Comments

Popular posts from this blog

Kerja Part-Time di Burger King. Gimana Caranya?

Kontemplasi Semu

Tak Kenal Maka Tak Sayang