Berhenti Racik Racun Pikiran
Bisa-bisanya hujan turun begitu deras siang ini.
Bukan, bukan aku tidak suka dengan kehadirannya.
Hanya saja ia terdengar sedikit marah. Derasnya menghujam. Gunturnya mencekam. Seperti sedang mengamuk dalam sekam.
Aku mulai mengutuk.
Aku diam sejenak dalam hening berteman sunyi.
Tidak, tidak akan ku biarkan rasa sepi ini menyelimuti batinku.
Tidak akan ku biarkan bayangan akan dirimu untuk sekedar muncul dalam benakku.
Ku putar Daniel Caesar untuk membunuh sepiku. Berharap setiap nadanya menghantarkanku pada perasaan tenang untuk menghadapi kesendirian ini.
Lalu jutaan rintik pun bersenandung bersama Guntur yang mengamuk dan Daniel Caesar yang berusaha meredakan.
Apa-apaan ini?
Awalnya sepi.
Namun kemudian memekakkan.
Mungkin memang aku yang sengaja membuat gaduh.
Tapi bukan isi kepala yang ingin ku buat runtuh.
Kesepianlah yang hendak ku buat jatuh.
Aku terus menulis.
Tanpa ada jeda untuk memberhentikan jemari yang terus menari diatas tuts laptop ini.
Sialan.
Aku tak punya teman selain kau, isi pikiran.
Kau yang sejak tadi mengambil alih tubuhku.
Bermain sesuka hatimu dalam kepalaku,
membuatku tunduk dan patuh untuk melakukan ini dan itu.
Semuanya sempurna. Seperti keinginanmu.
Mulai dari membuka pintu karna sugesti ketakutan yang tak berarti.
Menyapa kakek tua seberang rumah yang kemudian ia celingak-celinguk karena tak tahu dimana keberadaanku, dimana asal suara yang memanggil namanya, aku tertawa dalam hati, kena kau! Padahal mulanya aku tak bermaksud bergurau, tapi ternyata celingak-celinguknya terlalu jenaka untuk kulewati.
Lalu kemudian perlahan kau menyuruhku beranjak mengambil benda kotak silver ini untuk menemanimu. Cahayanya mungkin bisa sedikit menerangi rumah gelap ini, pikirmu. Aku menurut. Ku buka, sesuai permintaanmu.
Masih sunyi, desismu pelan. Aku nyalakan suara merdu Daniel Caesar untukmu. Dan memulai menarikan jemariku untuk mengurai sepimu.
Katamu aku berhasil, berhasil membuatmu menyulam tenang yang berselimutkan kalut.
Aku tersenyum.
Tersenyum tanpa sunggingan manis yang memperlihatkan kuningnya barisan gigiku.
Aku tersenyum dengan hati.
Tersenyum malu-malu seperti putri malu yang merunduk sebelum sempat diusir pergi.
Aku masih tidak bisa memberhentikan jemariku yang terus menari.
Aku masih tidak tahu caranya.
Bisakah kau memberiku perintah sekali lagi?
Jangan mengandalkan aku yang butut ini.
Aku tentu saja tidak bisa tanpamu.
Maka jangan menghilang setelah ku buat tenang.
Jangan egois meninggalkan, tanpa peduli sedikit apa yang ku perjuangkan.
Ah, apapula aku ini.
Terus mengaduh dengan sejuta keluh.
Barangkali kau benar. Aku harus mencari damai yang baru.
Damai yang dengan tenang hati menyulam sepi
Damai yang tak pernah pergi, meski kau mencoba tak kembali
Damai yang tulus menemani, meski ribuan kali kau ingin mengakhiri
Bagaimana mungkin kau tidak percaya akan damai itu?
Damai itu turun bersama rintik-rintik yang sejak tadi kau kutuk.
Bagaimana mungkin kau tidak percaya akan damai itu?
Ia adalah bahagia yang selama ini kau damba.
Berhentilah meracik racun pikiranmu sendiri.
Banyak damai yang bisa mulai kau aduk untuk adonan bahagiamu.
Comments
Post a Comment