Bisakah Kita?
Beberapa hari ini, aku belajar tentang apa itu firasat. Selarik perasaan yang bisa tiba-tiba menyapa dalam hatimu berbentuk isyarat kata yang tak bersuara. Aku memperlajari itu. Aku mempelajari bagaimana aku bisa merasakan firasat itu, dan membuatnya sebagai bisikan hati yang akan sampai pula ke hati yang lain.
Aku memfirasatkan kamu.
Ada rasa yang tak bisa aku jelaskan tentang bagaimana mungkin aku bisa tahu bahwa kamu sebenarnya diam-diam memperhatikanku. Padahal sebelumnya aku kaku dan cenderung beku, jarang merasa bahkan untuk setiap hal yang terlihat. Tapi tentang kamu, isyarat itu sampai ke hatiku, dan firasat itu seperti berbicara lantang depan wajahku bahwa kamu memperhatikanku.
Aku bukan cecak di dinding yang hanya bisa bersuara dan menatap diam-diam tanpa menggubris, aku kirim balik isyarat kecil yang sempat kau lemparkan. Ku buatkan puisi, yang aku tahu bahwa kamu akan tahu kalau itu memang ditujukan untuk kamu. Dan benar saja, kamu menangkap isyaratku lagi. Kamu mengerti. Kita saling terpaut dalam bahasa isyarat yang hanya kita berdua yang tahu, hanya kita berdua yang bisa merasa, bahwa ada beludak beludak kegembiraan yang tak mampu dijelaskan walaupun bisu masih menjadi teman.
Ajakan pertamamu yang tidak luwes itu ku terima, kita bersua. Mungkin ini jawaban Tuhan atas kedukaan yang ku kira akan menetap lama di dinding penantian. Kamu datang, dengan senyum yang buatku merasa bahwa dunia tidak sehitam yang ku bayangkan. Masih ada warna lain, di senyummu. Sekiranya begitu yang ku tahu.
Sampai sebuah kalimat “hai” menghangatkan telingaku. Lalu jutaan detik berikutnya, kita hanyut dalam tawa dan canda seperti layaknya teman lama yang sedang bertukar kabar cerita kehidupan. Kamu cepat menangkap hatiku, setidaknya begitu. Rasanya seperti sedang berlari-lari kecil di taman yang penuh mawar sore hari, sejuk dan menenangkan.
Ah, aku terpana. Kamu memesona.
Kamu tidak seperti yang ku bayangkan ternyata. Ada ketulusan yang bisa aku dengar dari setiap tawamu, ada keceriaan yang sudah lama tak keluar dari setiap jengkal cerita hidupmu. Aku tahu kamu rindu seseorang. Seseorang yang dulu pernah bersemayam penuh cinta di lubuk hatimu. Aku tahu kamu rindu sosok itu. Dan bersamaku, aku pun tahu bahwa kamu sedang berusaha membuka lebar pendar-pendar cinta itu, mempersilakan aku untuk masuk dan spill the tea bareng kamu. Ah, aku mulai sok asik. Terbawa suasana riangnya hatimu.
“Hujan, macet, jadi lama ngobrol sama kamu.” Sepertinya ini menjadi sepotong kalimat yang terus-terusan berputar dalam kepalaku. Aku mengiyakan dalam hati sambil bersorak sorai. Namun, tak ada satu patah kata pun yang keluar. Senyum mendominasi. Tanda aku setuju sambil jual mahal sedikit karna baru beberapa menit duduk di sampingmu.
Gemerlap lampu Jakarta seperti ikut berhaha-hihi dengan kita berdua. Ia tahu ada dua jiwa yang sedang berusaha keluar dari masa lalu, untuk bisa berdamai dengan hidup yang nyatanya indah jika ditatap dari sisi yang berbeda. Bukan hanya lampu! Kendaraan-kendaraan lain pun seperti menjadi teman yang menari-menari melatarbelakangi pertemuan kita. Mereka membuat penuh jalanan, membuat kita bisa berlama-lama untuk bertukar tawa. Mereka tahu kita butuh tempat untuk bercerita lebih dalam di dalam sini.
Ah, elok sekali rupanya rencana Tuhan.
Semakin elok ketika aku tahu ada potongan-potongan cerita yang membuat kita nampak sama. Seragam. Berjalan beriringan. Begitu mungkin kiranya. Ada kotak-kotak yang harusnya bisa kita saling isi bersama agar sempurna jalan ceritanya. Aku bisa merasakan itu. Bahkan Tuhan yang langsung mengirimkan isyaratnya kepada hatiku. Dan Tuhan tak pernah salah. Begitupun dengan firasat yang lagi-lagi ku rasakan ini.
Bisakah kita pada akhirnya untuk berdamai dengan benang-benang semrawut masa lalu? Dan menjahit bingkai baru bersama-sama?
Comments
Post a Comment