Mungkin Esok Hari
Terhitung dua bulan sudah kita hanya memiliki jarak.
Jarak yang memaksa kita berhadapan dengan sekat-sekat,
tempat tubuh selalu ingin merebah.
Jarak yang membatasi kita dengan sirap-sirap,
tempat kita gantungkan baju penuh peluh.
Jarak yang diam-diam dekatkan kita pada sebuah tempat yang biasa disebut "rumah".
Menjalani kehidupan dengan definisi sederhana versi kita masing-masing.
Memaknai setiap kejenuhan dengan rasa syukur yang tak henti kita panjatkan kepada penguasa semesta—yang sedang tidak baik-baik saja keadaannya.
Menangkis pikiran-pikiran buram khas manusia dengan hati temaram.
Kita semua sungguh merasakan jenuh yang sama.
Kita semua sungguh merasakan resah yang sama.
Jika pagi biasanya menerbangkan segar yang memantik semangat,
maka mungkin pagi ini tidak sama lagi.
Jika cantik senja selalu kau tunggu-tunggu untuk segera menjemput pulang,
maka mungkin hari ini tidak ada kata "pulang" lagi.
Kata "pulang" bahkan seakan-akan kehilangan esensi, tidak berarti lagi.
Mungkin untuk esok hari yang bahagianya terus dinanti,
kau masih harus banyak berdoa.
Mungkin untuk masa depan indah yang terukir dalam urat nadi,
kau masih harus banyak berjuang.
Dengan sejuta penerimaan atas kenyataan dan ribuan keyakinan atas keraguan.
Jangan terus memburu semesta dengan banyak pertanyaan.
Bila saja kau yakin atas janji abadi sebuah waktu,
tak perlu berlari untuk terus mencari tahu.
Cukup jalani dan hargai setiap detaknya.
Percayalah, kita tetap berdekatan
meski dengan cara yang sangat berbeda.
Berjanjilah, untuk tidak pernah berhenti
meski mimpi buruk lagi-lagi terjadi.
Semesta benar-benar akan segera pulih
diikuti sorak sorai yang memangkas seluruh letih,
dalam bisik lirih mimpimu malam ini.
Jarak yang memaksa kita berhadapan dengan sekat-sekat,
tempat tubuh selalu ingin merebah.
Jarak yang membatasi kita dengan sirap-sirap,
tempat kita gantungkan baju penuh peluh.
Jarak yang diam-diam dekatkan kita pada sebuah tempat yang biasa disebut "rumah".
Menjalani kehidupan dengan definisi sederhana versi kita masing-masing.
Memaknai setiap kejenuhan dengan rasa syukur yang tak henti kita panjatkan kepada penguasa semesta—yang sedang tidak baik-baik saja keadaannya.
Menangkis pikiran-pikiran buram khas manusia dengan hati temaram.
Kita semua sungguh merasakan jenuh yang sama.
Kita semua sungguh merasakan resah yang sama.
Jika pagi biasanya menerbangkan segar yang memantik semangat,
maka mungkin pagi ini tidak sama lagi.
Jika cantik senja selalu kau tunggu-tunggu untuk segera menjemput pulang,
maka mungkin hari ini tidak ada kata "pulang" lagi.
Kata "pulang" bahkan seakan-akan kehilangan esensi, tidak berarti lagi.
Mungkin untuk esok hari yang bahagianya terus dinanti,
kau masih harus banyak berdoa.
Mungkin untuk masa depan indah yang terukir dalam urat nadi,
kau masih harus banyak berjuang.
Dengan sejuta penerimaan atas kenyataan dan ribuan keyakinan atas keraguan.
Jangan terus memburu semesta dengan banyak pertanyaan.
Bila saja kau yakin atas janji abadi sebuah waktu,
tak perlu berlari untuk terus mencari tahu.
Cukup jalani dan hargai setiap detaknya.
Percayalah, kita tetap berdekatan
meski dengan cara yang sangat berbeda.
Berjanjilah, untuk tidak pernah berhenti
meski mimpi buruk lagi-lagi terjadi.
Semesta benar-benar akan segera pulih
diikuti sorak sorai yang memangkas seluruh letih,
dalam bisik lirih mimpimu malam ini.
Untuk hari esok, masihkah kita berjumpa?
ReplyDeleteharusnya sih masih ya..
Delete👍
ReplyDelete