Posts

Pendosa yang Dicintai Tuhannya

Aku adalah pendosa yang dicintai Tuhan,  pendosa yang diberkahi Tuhan, dan banyak dibela oleh Tuhan. Tidak sekalipun Tuhan menulikan telinganya atas rapal-rapal doa yang slalu kulayangkan ke langit malam, padahal siang harinya aku berbuat dosa dengan tanpa rasa bersalah.  Tidak sekalipun Tuhan membutakan matanya atas air mata yang sengaja kupamerkan demi memelas belas kasihNya. Tuhan tahu betul aku pendosa paling ulung sedunia. Ingin rasanya aku merajuk pada Tuhan untuk berhenti mencintai manusia pendosa tak tahu diri ini, tapi karuniaNya terlalu besar untuk aku biarkan.  Tuhan...  aku tahu Kau akan slalu memandangiku tanpa perlu kita saling bertatap. aku tahu Kau akan slalu mendengarkanku tanpa perlu alat. dan akupun tahu Kau akan slalu mencintaiku tanpa perlu syarat apa-apa. Terima kasih, Tuhan.. Terima kasih sudah bersedia untuk slalu mencurahkan kasih sayangMu pada manusia pendosa sepertiku. 

Pesan dari Sebuah Toa

Bagi kita mungkin lantangnya suara dari toa masjid adalah hal biasa yang sering kita dengar setiap hari. Sekadar pengingat waktu sholat atau pengumuman meninggalnya kerabat dekat rumah. Ironi memang, toa yang bergema 5 kali dalam sehari itu mengeluarkan suara yang tak benar-benar didengar dan dipedulikan. Dianggap tidak ada. Dilupakan. Kamu mungkin akan bilang, "Lantas mengapa? Toh semua orang melakukan hal yang serupa. Apa hal yang seharusnya dilakukan dengan sebuah toa masjid?" Sampai akhirnya pandemi datang, dan kita semua berusaha untuk memperbaiki keadaan yang tak seringan kelihatannya. Jika saja kita bisa sedikit lebih peka dan sering menengok pada hal-hal sekitar yang sering terlupakan, banyak yang bisa kita lakukan, banyak yang bisa kita gunakan untuk mengangkat kita dari masa-masa sulit yang mengekang.  Sama halnya dengan toa masjid. Sebuah alat yang jarang kita pedulikan ternyata memiliki fungsi kemanusiaan. Siapa sangka bahwa toa masjid bisa mencegah Covid?  Toa Ba

Berlari Melawan Diri Sendiri

Hari ini cuaca begitu sejuk. Cuaca yang sempurna untuk berlari. Cuaca yang mengingatkanku pada sepenggal kisah tentang perjuangan melawan diri sendiri. Kisah yang membuatku menjadi lebih dekat dengan diriku. Barangkali, kamu pun punya perasaan yang sama setelah mendengarnya. Maka, kisah ini spesial aku bagikan untukmu. -- Pada hari yang sejuk itu, para pelari sudah membentuk gerombolan. Seperti gerombolan ikan mereka menyatu. Mereka bergerak sebagai kesatuan. Gerombolan itu menetapkan kecepatan untuk memaksimalkan tenaganya saat berlari nanti. Seperti pada lomba biasanya, dalam waktu singkat, yang paling kuatlah yang mulai lebih maju dan yang lebih lemah mulai tertinggal. Tetapi tidak demikian dengan Ben Comen. Ben bukanlah perlari tercepat di timnya. Malah sebenarnya, dia yang paling lambat. Dia tidak pernah memenangkan satu lomba lari pun. Ben menderita serebral palsi .  Saat itu, gerombolan pelari semakin jauh di depan sementara Ben semakin tertinggal. Dia terpeleset di rumput yang

Setelah Tiga Tahun

Terbentur, terbentur, terbentuk. Sebuah baja harus ditempa supaya menjadi sebuah pedang.  Begitu pun manusia, harus berproses untuk menjadi sebagaimana manusia. Yang dituntut untuk tak patah meski berjuta kali ditempa. Yang pada akhirnya terbentuk dengan ribuan cerita di setiap perjalanannya.  Menjejaki sebuah fase baru dalam hidup tidak pernah mudah. Seperti fase ketika dihadapkan dengan lingkungan baru yang penuh canggung. Fase belajar untuk merangkul pundak sendiri, memberi afirmasi untuk kian bangkit dari perasaan terpuruk, juga menepuk dada sendiri dengan bangga atas setiap pencapaian kecil adalah bagian dari proses untuk menjadi seorang manusia.  Dari segala aral dan terjal yang dilalui, ternyata luput dari pandangan, mereka-mereka yang tak pernah absen kehadirannya ketika aku sibuk mengurung diri dengan alibi untuk berdiri di atas kaki sendiri.  Ternyata, hidup tidak serumit yang ada di kepala.  Setelah tiga tahun belajar menjadi sebagaimana harusnya manusia, wisuda ini bagaikan

Waktunya Pergi

Beberapa dendam terpendam lebih dalam ketimbang yang lainnya Beberapa kejadian lebih sulit dilupakan ketimbang yang lainnya Beberapa kecewa lebih lama termaafkan ketimbang yang lainnya Lalu kita menjadi manusia yang pincang karena banyaknya luka Berjalan terseok-seok dengan nanah di kaki dan babak belur di hati Sambil terus menutupi sakit dengan mati-matian Menyeka air mata yang tak lagi bening warnanya Karna terlalu lama disembunyikan, simbol kekuatan Terus saja menambal luka dengan senyum kepalsuan Mengais sisa-sisa kepedihan untuk bekal memaafkan Mencari ikhlas yang sulit ditemukan Ingin berhenti, sialnya malah menginjak jalan penuh duri Satu dua detik terdiam, kemudian berbisik, "Kenapa? Kenapa semesta tak pernah berpihak?" Tak sampai akal pikiran, menjauh mungkin satu-satunya pilihan Bercumbu dengan sepi dan  mengurung segala dalam diri mungkin cara  terbaik untuk  mengobati Untuk kembali merasa ada, u ntuk kembali merasa hidup Kamu kelak kembali, kan? Semoga

Ulang Tahun Ibu

Ini hanyalah secarik pesan kecil yang mungkin tidak dapat mewakilkan besarnya rasa cinta pada Ibu yang telah menjadikanku manusia yang berani untuk menjadi kuat.  Ibu.. Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk hadir di dunia yang penuh warna. Terima kasih karna sudah berbesar hati menerima suara ketus, muka cemberut, dan rengekanku yang tak pernah surut. Terima kasih sudah melapangkan hati atas perkataanku yang membuat sakit hati. Terima kasih sudah memaafkan dan menerima kesalahan yang berulang-ulang kali aku lakukan.   Terima kasih karna Ibu, aku tidak pernah mengenal seragam sekolah yang kumal dan lecek. Terima kasih karna Ibu, aku tidak pernah mengenal buku yang tidak tersampul. Terima kasih karna Ibu, aku tidak pernah mengenal masakan yang hambar. Masakan Ibu selalu enak, selalu penuh cinta, selalu membuatku merasa 1 piring tidak cukup untuk menyantapnya.  Maaf Ibu untuk kantung mata yang harus hadir di matamu saat demamku tak kunjung turun. Maaf Ibu untuk se

Sebuah Garis Waktu

Jika kamu memiliki kesempatan untuk memutar waktu, ke mana kamu akan menuju?  -- Bicara tentang waktu, sebuah siklus abu-abu yang menjerat diri tentang kepastian yang ilusi. Tempat yang seringkali diisi dengan kebahagiaan yang berdampingan dengan kepedihan. Penuh dengan lika-liku, jatuh bangun, naik turun. Begitu dinamis dan tak terprediksi. Apalah kita, makhluk yang inginnya dipanggil manusia namun berperilaku seperti pemilik semesta. Menghakimi waktu, menganggap rencana adalah sebuah jalan pasti tentang cerita hidup yang telah digariskan Tuhan. Padahal sudah jelas kita hanya hidup dalam lingkaran sempit waktu yang rodanya terus berputar tanpa ampun.  Lengah dalam perjalanan seakan-akan hal biasa. Namun bangkit di antaranya adalah sebuah keberanian untuk hidup berdampingan dengan waktu. Keberanian untuk mengakui kelemahan, keberanian untuk merubah kebiasaan, keberanian untuk menjemput apa yang selama ini dielu-elukan sebagai impian.   Jika setiap hari adalah topik bar